Monday, November 19, 2012

CERITA PENDEK. tema : kasih sayang


 KAREN TERSAYANG 

Pagi ini, langit di kota Jakarta terlihat tak bersemangat. Tidak biasanya mendung gelapa seperti ini. Jam dinding menunjukkan pukul enam tepat. Aku sangat senang, karena ini adalah hari pertamaku menjadi siswa Sekolah Menengah Pertama. Dan itu artinya aku sudah harus meninggalkan semua sikap kekanak-kanakanku di usiaku yang baru 12 tahun. Namaku Kasih, walaupun aku belum pernah merasakan nikmatnya kasih sayang seorang ibu. Dari kecil aku belum pernah melihat bagaimana indah bolamatanya? Secantik apa hidung dan mulut mungilnya? Sehangat apa dekapannya? Selama ini, aku hidup hanya dengan seorang ayah dan kakak laki-lakiku. Namanya Rendy Saputra, aku sering memanggilnya Karen ( Kak Rendy ). Usianya 17 tahun, ia adalah orang yang sampai saat ini belum bias menerima kematian mama. “Ini salahmu, kalau waktu itu mama nggak ngelahirin kamu mama pasti sekarang masih ada disini!”. Selalu itu kata-kata yang keluar dari mulut Karen jika sedang bertengkar denganku. Aku selalu terdiam dan sekali-kali menitikkan air mata. Memang, mama meninggal saat setelah melahirkanku. Mungkin karena itu Karen belum bisa menerimaku di kehidupannya, ia selalu menganggapku seorang pembunuh. Ini sungguh menyakitkan bagiku. Tapi ayah selalu mendekatiku dan berkata, “Ini bukan salahmu kas!”. Ayah memang selalu begitu, ia selalu berusaha menghiburku disaat aku sedih ataupun sakit hati karena kata-kata Karen.
Dari dulu, keinginanku adalah membuat Karen menyayangiku seperti aku menyayanginya. Aku selalu berusah membuatnya tidak bias melupakanku.
“Kasih … Ayo turun! Sarapan dulu!”. Teriak ayah dari lantai bawah. Mendengarnya, akupun langsung bergegas menghampirinya. Di ruang makan sudah ada Karen dan ayah yang sibuk mempersiapkan sarapannya masing-masing. Akupun memilih duduk disebelah Karen.
“Pagi semuanya ..”. Sapaku sambil tersenyum.
“Pagi juga sayaang ..”. Jawab ayah yang sedang mengoleskan selai coklat pada sepotong roti. Karen? Ia tak menjawab sapaanku. Ia sibuk menghabiskan segelas susu sambil mendengarkan headphonenya.
“Uh, dasar ..”. Gumamku.
 “Ini untuk anak ayah yang paling tampan!”. Ujar ayah sambil meletakkan sepotong roti itu ke piring Karen. Begitu juga denganku, ayah juga membuatkannya untukku.
“Terima kasih ayah ..”. Ujarku. Akupun segera menyelesaikan sarapanku. “Sudah tidak sabar lagi pergi ke sekolah baru.”.
“Cepetan dong kas, gue ada ujian praktek nih!” tiba-tiba Karen bangkit dari kursinya.
“Oh, iya kak .. tunggu ya! Sedikit lagi selesai.” Ujarku yang langsung menelan roti yang tinggal sedikit. “ Uhuk ..”. Aku tersedak, ini salah Karen .. Menyebalkan.
“Hati-hati kas ..” Pinta ayah yang mendekatiku. “Minum dulu, lalu langsung ke mobil!”. Lanjutnya lagi. Aku hanya mengangguk.
Setelah semua selesai, aku segara menuju mobil. Di perjalanan, suasana sangat sepi, seperti di .. Di mana ya? Di rumah kosong mungkin. Semua membisu, suasananya kaku. Yang terdengar hanya suara dari penyar radio yang lagi ngepromosiin merk mobil terbaru. Ngebosenin banget ya? Aku harus buat suasana menjadi menyenangkan, penuh canda dan tawa.
“Wah adik yang di trotoar itu lucu ya yah .. Eh, balonnya terbang tuh! Kasian, mana ibunya ya?”. Ujarku yang berusaha membuat suasana mobil menjadi tidak kaku seperti sebelumnya.
“Iya, mana ibunya ya? Kok ditinggal sendirian?”. Ujar ayah yang mencoba memberikan respon padaku.
“Mati kali? Kaya nasib gue!”. Tiba-tiba Karen melirik sinis kepadaku.
“Apasih kak? Jangan lirik-lirik gitu dong?”. Ujarku yang ketakutan.
“Eh, lu masih belum nyadar juga ya? Udah 12 tahun hello..? Lu itu udah ngebunuh mama. Dia orang terpenting dalam hidup gue.”. Ujar Karen dengan kasar. Astaga, separah itu ya?
“Karen .. asal kakak tau, aku juga sedih kehilangan mama? Bukan cumin lu aja kak? Ayah juga ..”. Ujarku dengan nada tinggi.
“Oya? Trus kenapa lu nggak mati aja sekalian. Kenapa lu harus lahir? Hhh?”.
“Kak, aku .. Aku..” Aku hanya terdiam. Aku udah gak bisa bales ucapan kasar Karen. Aku sakit hati. Apa aku segitu nggak diperhatiin dan nggak dianggep ya sama Karen? Aku siapa sih dihidupnya?
“STOP!!! … Kalian ini apa-apaan sih? Nggak pernah hidup rukun. Bertengkar terus .. Kalo kaya gini terus, mama pasti lebih sedih lagi disana! Ngerti nggak sih?”. Ujar ayah yang terlihat marah.
“Iya kak, lebih baik kita berhenti deh kayak gini terus. Aku juga capek kak! Sampe kapan kita gini? Emang gak bisa ya terima aku di kehidupan kakak? Asal Karen ngerti, aku sayang sama lu kak!”. Aku berusaha meyakinkannya lagi. Aku selalu berharap Karen segera memaafkanku.
“Lu kan yang sayang sama gue? Pokoknya bukan gue lah yang sayang sama lu .. Amit-amit deh, sayang sama pembunuh mama gue sendiri! Jangan sampe!”. Balasnya dengan nada yang sedikit menyakitkan hati. Aku terdiam lagi. Kali ini aku benar-benar kehabisan kata-kata. Tiba-tiba ayah menghentikan mobilnya.
“Karen, kamu turun!”. Ujarnya pada Karen yang saat itu duduk disebelahku.
“Apa yah? Turun? Sekolahku kan masih 100 meter lagi dari sini? Aku sama Kasih kan satu sekolah sekarang, kenapa harus diturunin sendiri –sendiri sih? Nggak mau ah!” Jawab Karen sambil memasang wajah sebalnya.
“Udah! Kamu turun cepetan! Ayah nggak mau ngedengerin omongan kamu yang selalu nyakitin adik kamu! Kamu itu cowo, harusnya melindungi bukan menyakiti. Sudah turun aja cepetan!”. Lanjut ayah. Ia tampak bersikeras menurunkan Karen.
“Bodoh amat! Uda deh jalan lagi, nanti aku telat sekolah nih yah!”
“Udah deh yah, nanti Karen telat. Dia kan ada ujian praktek ntar? Jalan aja yah!”. Pintaku pada ayah. Ayahpun langsung menjalankan mobilnya lagi.
“Kalo bukan Kasih yang minta, ni mobil nggak akan jalan!”. Ujar ayah yang tetap berkonsenterasi dengan menyetirnya.
Beberapa lama kemudian, mobil kami sampai tujuan. Segera aku turun dari mobil dan menggandeng Karen.
“Apaan sih gandeng-gandeng. Lepasin!”. Karen membanting tanganku. Ia seperti malu memiliki adik sepertiku.
“Astaga kak .. Sakit tau? Oke, aku lepasin! Jangan kasar-kasar dong sama cewek! Nyebelin!”. Ujarku.
“Inget ya, semua temen-temen gue itu nggak ada yang tau kalo gue sebenernya punya adik. Mereka semua taunya gue anak tunggal. Jadi, lu jangan ngaku-ngaku adik gue di sekolah! Awas lu ya!”. Ujar Karen sambil mengacung-acungkan telunjuknya ke arahku. Aku sungguh sedih mendengarnya. Jadi, selama ini Karen memang tidak pernah menganggapku ada.
“Karen! Apakah segitu gaib nya aku di kehidupanmu? ..”. Tanyak yang sama sekali tidak dihiraukannya. Karen berjalan sangat cepat didepanku. Sedangkan aku, tak tau harus kemana. Sekolah ini terlihat asing bagiku, dimana kelasku? Aku bener-bener nggak ngerti harus kemana? Aku hanya berjalan jauh dibelakang Karen. Tiba-tiba …
“Hai Ka .. sih Ama .. lia ..! Kau kelas tujuh juga kan?..”. Seseorang tepat berada didepanku. Tampaknya ia membaca nametag yang berada di sisi kiri seragamku. “Salam kenal ya, namaku Evellyn Amalia. Hehe J”. Ujar gadis berrrambut hitam kemerahan  dan sedikit ikal bawahnya. Ia terlihat anggun dengan pita kuning di sisi kanan kepalanya. Tasnya kuning, jam tangannya juga. Sepertinya dia akan menjadi gadis tercantik dengan style-nya yang selalu matching. Nama kita sama-sama diakhiri dengan ‘Amalia’, mungkin aku bisa mengikuti jejak style-nya
“Hai kasih .. Apa kau tidak mendengarku? Atau aku salah bicara?”. Ujar Lyn, yang mungkin akan menjadi teman pertamaku disini.
“Eh, maaf lyn .. aku mendengarmu kok! Dan, kau juga tidak salah bicara .. Aku hanya terpesona melihat kecantikanmu hehe ..”. Candaku. Lyn hanya tertawa geli mendengar ucapanku. “Iya .. aku kelas tujuh, 7C. Apa kau juga?”. Tanyaku sambil mendekatkan wajahku tepat didepannya.
“Ah, Kasih jangan deket-deket dong! Kau membuatku takut! .. Iya, kita teman sekelas. Ayo ikut aku! Biar kutunjukkan kelas kita!” Ia menarik tanganku dan mengajakku berkeliling sekolah. “Aku tau semua yang ada disekolah ini. Semua tempat sudah kupahami!”. Ujarnya yang selalu dengan tertawa riang.
“Kau periang ya?”. Tanyaku heran.
“Ah, biasa saja .. Hidup memang harus tertawa, harus gembira! Walaupun sakit, kau harus menutupi rasa sakitmu dengan senyuman. Itu yang selalu kakak ajarkan padaku!”. Lyn terlihat bahagia sekali saat itu. Senyumnya membuatku kagum. Apa dalam hidupnya tidak pernah ada masalah?
“Benarkah? Kau punya kakak?”
“Ya, tentu saja! Ia yang memperkenalkanku dengan sekolah ini. Setiap Sabtu, ia mengajakku kemari dan menyaksikan bagaimana ekstrakulikuler di sekolahnya. Nama kakakku Rafi. Dia adalah kakak yang mungkin paling baik di dunia ini. Hehe, kau tau Kas? Kak Rafi pernah membelikanku bermacam-macam bentuk dan warna boneka. Setiap ulang tahunku, ia slalu mengajakku ke tempat yang berbeda. Pantai, hutan, kebun, taman bunga dan masih banyak lagi yang belum kusebutkan. Kasih, aku benar-benar tidak ingin pergi dari dunia ini. Aku takut kehilangan orang-orang yang kucintai.” Uajr Lyn panjang lebar. Ia sungguh terlihat bangga memiliki kakak sebaik Rafi. Aku iri padanya. Tidak seperti kakakku yang selalu membuatku menangis. Sama sekali tidak menganggapku, sungguh kakak kami sangat berlawanan. “ Kasih .. Kau kenapa? Aku salah  bicara lagi ya? Astaga, maafkan aku. Mungkin aku terlihat sombong dimatamu.” Ujar Lyn yang melihatku menitikkan air mata.
“Tidak apa-apa Lyn ... ini bukan salahmu! Aku hanya terharu mendengar ceritamu. Orang tuamu pasti bahagia memiliki anak serukun kalian. Iya kan?” Tanyaku sambil tersenyum
“Iya kas. Terima kasih ya?”
“Untuk apa?”
“Kau adalah orang pertama yang senang mendengarku bercerita. Ah, lupakan! Ayo aku tunjukkan kelas kita! Sudah hampir dekat kas!” Ujar Lyn yang tidak pernah lepas dari senyumannya. Akupun berjalan mengikutinya. Ia tetap menggandeng tanganku. Aku bahagia memiliki teman sebaik Lyn.
“Eh, itu adalah kantin sekolah kita! Disana nasi gorengnya enak banget kas! Apa kau ingin mencobanya? Nanti istirahat aku traktir deh!”.
“Haha baiklah! Kau terlihat lapar sekali ya?”
“Kau benar! Aku memang sangat lapar ..”. Tiba-tiba seorang pria berseragam putih abu-abu menghentikan langkah kami.
“Ini, tepak pensilmu tertinggal di mobil! Lain kali dicek dulu sebelum turun mobil.” Ujar pria tersebut. Hidungnya mancung, kulitnya putih, matanya lebar, rambutnya juga sedikit ikal. Sama persis dengan Lyn.
“Ini Kak Rafi kas! ..”. Ujar Lyn yang memperkenalkan kakaknya padaku. Kak Rafi memang tampan. Tetapi, Karen tentu tidak kalah tampan.
“Teman barumu ya? Cantiknyaa ..”. Ujar Kak Rafi sambil mencubit kedua pipiku. Astaga, Karen belum pernah melakukan ini sebelumnya padaku. “Lyn, kenapa tidak bilang pada kakak punya teman secantik ini.”
“Kak Rafi ini selalu genit kas .. Maaf ya!” Lyn mencubit tangan kiri Kak Rafi.
“Ah, itu tidak benar. Aku memang menyukai gadis kecil. Haha siapa namamu?” Tanyanya padaku.
“Kasih.” Jawabku singkat.
“Oh, baiklah .. sepertinya kau takut denganku ya? Aku pergi dulu semuanya!”. Ia pun pergi meninggalkan kami. Aku dan Lyn melanjutkan perjalanan kami. Sepanjang perjalanan menuju kelas kami berdua bercanda dan tertawa. Dan, “Ini dia kelas kita! Bagaiman bagus kan?” Tanya Lyn yang meyakinkanku. Aku hanya mengangguk dan tersenyum kagum. Bagaimana tidak? Kulihat pintu kelasnyayang  tinggi dengan catnya yang berwarna coklat kayu terlihat gagah. Begitu juga jendela-jendela yang menyapa kami denga cat yang senada dengan pintunya. Kamipun segera masuk. Didalam sudah banyak teman yang menunggu kedatangan teman-teman yang lain.
Pelajaran kami mulai dengan pelajaran bahasa inggris. Lyn ternyata sangat pintar berbahasa inggris.
I know that miss! It’s easy, I’ll do it!” begitu jawabnya ketika miss Ane menyuruh kami mengerjakan 5 soal yang berada di papan tulis.
“Kau bicara apa Lyn?”. Tanyaku heran. Lyn hanya tersenyum dan langsung maju kedepan. Semua ia jawab dengan lancer dan benar. “Wah, kau hebat!”. Ujarku yang memecahklan keheningan kelas. Aku memberikan tepuk tangan untuknya. Kedua jempolku juga ku acungkan untuknya. Aku bangga memiliki teman sepertinya.
Waktu istirahatpun tiba, ternyata selain cantik dan pintar … Lyn adalah teman yang menepati janji. Ia tidak lupa akan menraktirku makan siang disini. Oh iya, selain itu mulut mungilnya juga tidak berbohong saat mengatakan nasi goreng disini enak.
Kami sangat menikmati nasi gorengnya. Tapi, tiba-tiba selera makanku hilang ketika melihat Karen lewat didepanku. “Astaga, dia sama sekali tidak melihatku? Menatapku? Bahkan melirikku pun juga tidak. Aku ini siapa sih baginya”. Ujarku dalam hati.
“Ada ada saja kau ini .. Mana ada gajah yang naik becak? Hahaha!” Karen terlihat bahagia jika tidak bersamaku. Ia bisa tertawa dengan teman-temannya.  Sebelahnya? Itu kan? Astaga itu Kak Rafi.
“Woy! Liat siapa lu kas?”. Tiba-tiba Lyn membangunkanku dari lamunan. “Oh, .. liat Kak Rafi to? Lu naksir ya sama kakak gue?”
“Enggak Lyn .. Aku cuman lihat aja.Bukan lihat sih sebenernya .. Hmm, apa ya? Itu, ada Karen.” Aku bingung harus menjawab apa? Aku emang bener-bener nggak lagi liat Kak Rafi. Tapi  aku lihat Karen. Tapi, Lyn kan nggak boleh tau kalo aku punya kakak disini.
“Karen? Siapa itu kas?” Tanya Lyn penasaran.
“Bukan siapa-siapa kok. Udah makan aja lagi Lyn!”. Ujarku sedikit ketakutan. Lyn hanya mengangguk dan sedikit berdecak heran.
“Eh, ada adik kakak yang paling cantik disini. Dasar, makan nasi goroeng nggak ngajak kakak nih!”. Astaga, Kak Rafi menghampiri kami. Tentu saja sebelahnya ada Karen.
“Kak Rafi? Haha iya nih makan bareng Kasih. Kalo kakak juga mau, pesen aja sama temen kakak, nanti makannya bareng-bareng kita disini ya?”. Ujar Lyn manis.
“Lyn? Kumohon jangan ajak mereka makan disini!”. Bisikku pada Lyn.
“Iya, aku tau kalo kamu nggak mau semeja sama kakakku kan? Takut salting ya?”
“Apa sih Lyn! Kamu nggak tau apa-apa Lyn! Plis, jangan …”
“Woy! Kamu kenapa sih Kas? Aku emang nggak tau apa-apa tentang kamu! Buat apa juga gue tau kan?”
“Eh maaf Lyn .. Bukan gitu maksudku. Astaga! Udah deh abaikan!”. Aku udah salah ngomong ya? Lyn terlihat sedikit marah. Akupun menghentingkan semua. Tak lama kemudian Kak Rafi dan Karen dating.
“Lu duduk sebelah Kasih ya ren?” ujar Kak Rafi pada Karen. Karen hanya mengangguk dan duduk disebelahku. Ia sama sekali tidak menganggapku sebagai musuh ataupun adik. Ia sama sekali tidak mengenalku saat itu.
“Ya tuhan .. aku sungguh tidak tahan dengan sikapnya yang dingin itu!”. Ujarku dalam hati. Tiba-tiba aku menitikkan air mata. Ini adalah caraku untuk mengungkapkan pada Karen secara tidak langsung, bahwa aku sungguh sakit hati.
“Kasih .. kamu kenapa sih? Eh, kamu kenapa nangis kas? Aduh aku tadi salah bicara ya?”. Tiba-tiba Lyn meresponku. Dan, seperti biasa Karen tetap tidak meresponku. Kak Rafi yang bukan kakakku saja merespon. Karen benar-benar jahat. Kali ini aku benar-benar ingin menendangnya ke luar angkasa.
“Udah deh, aku nggak kenapa-napa kok!” Akupun berdiri meninggalkan mereka yang tampak kebingungan melihat sikapku yang memang aneh. Kecuali Karen yang diam mematung sambil mainin tusuk gigi. “Huh, tuh orang nyebelin banget sih! Lihat aja ntar, aku bakal buat Karen nggak mau kehilangan Kasih!”. Ujarku sambil tetap berlari menuju kelas. Ternyata dari belakang, Lyn berlari mengikutiku.
“Kasih! .. Tunggu aku! Kamu kenapa sih?”. Melihat Lyn yang terlihat lelah mengejarku. Akupun berhenti. “Kau ini .. aku capek kas!”
“Maaf Lyn! Aku nggak papa kok! J”. Ujarku yang hanya tersenyum dan membawa Lyn ke kelas.
Tak terasa akhirnya bel pulang pun berbunyi .. Aku segera menghampiri ayah yang sudah siap dengan mobil yang diparkir didepan gerbang sekolah
“Ayah!” Aku berlari menghampirinya. Kupeluk ayah .. “Aku sedih sekali hari ini yah! Ternyata tidak semudah itu satu sekolah dengan Karen.”
“Ada apa lagi ini?”
“Aku mau pindah sekolah saja kalau begini caranya!” Akupun mulai menangis.
“Jangan nangis disi kas! Ini didepan sekolah lho1 Masih banyak teman-temanmu.”
“Biarin! Aku pengen semua tau kalo aku ini adiknya Karen yah! ...”
“Itu Karen kas! Karen! Sini nak!”. Teriak ayah sambil melambaikan tangannya memanggil Karen. “Sini nak! Ayo pulang!”
“Astaga ayah! Ayah blak-blakan banget sih! Kalo gini caranya, semua orang  bakal tau kalo kita sodaraan.” Ujarku dalam hati. “Oh, atau jangan-jangan .. ini cara ayah! Haha ayah pinter juga.”
“Karen! Ayo pulang nak!” Ayah terus memanggil Karen sambil menepuk tangannya. Karen t erlihat malu dengan tingkah ayah yang nekat. Apalagi disebelahnya ada .. Kak Rafi. Sip! Ini momen yang pas buat ngasih tau ke temen-temen Karen kalo aku ini adiknya.
“Kak .. Ayo pulang kak!”. Akupun ikut-ikutan memanggilnya. Melihat ini, Karen pun segera menghampiri aku dan ayah.
“Ini apa-apan sih? Kalian sengaja ya?”. Ujar Karen dengan suaranya yang sengaja dipelankan.
“Kak, aku minta maaf deh kalo aku punya salah! Aku nggak pengen kita gini terus kak!”. Ujarku meyakinkannya.
“Husst! Udah masuk mobil kas!”. Dengan kasarnya ia mendorongku masuk kedalam mobil. Aku sungguh malu, aku malu diperlakukan kaya gini didepan temen-temen kakak. Aku yakin, Lyn dan Kak Rafi pasti melihat tingkah kami. “Ayo yah jalan!”. Karen terus memakasa ayah untuk menjalankan mobil. Ayahpun tidak banyak bicara dan langsung menjalankan mobilnya. Di perjalanan pulang, aku hanya bisa menangis.
“Kakak jahat! Kakak nggak pernah sayang sama aku! Padahal aku selalu sayang sama kakak .. Karen bener-bener benci ya sama aku?”. Tanyaku yang tetap menangis. Karen tidak menjawab. Ia selalu seperti Karen yang biasanya. Diam membisu tak berkata-kata. Aku sangat memaklumi itu. Dan, menurutku sikapnya tidak lama pasti akan segera berubah.
Sesampainya dirumah, aku keluar dan langsung menuju kamarku untuk berganti pakaian. Tiba-tiba ayah mendekatiku, ia membelai rambutku dan berkata, “Sabar ya sayang! Kamu pasti kuat kok! Ayah Sayang sama kamu!”. Aku tersenyum saja, aku  capek ngomong dan nggak tau harus ngomong apa.
Sore ini langit masih sama seperti pagi tadi. “Aneh, mendung tapi hujannya nggak turun-turun.”. Ujarku sambil menatap langit di luar jendela. Jakarta sungguh penuh dengan polusi. Kehijauan terlihat langka disini. Semua dipadati gedung-gedung tinggi dan kendaraan-kendaran mewah. Akupun turun ke lantai bawah. Di ruang keluarga Karen sedang asyik membaca novel favoritnya yang bejudul “I’AM”. Entah sudah brapa ribu kali ia membacanya. Itu adalah buku yang diberikan mama untuknya. Pantas ia sangat senang membacanya.
Aku mendekati Karen dan mencoba menyapanya. Aku selalu berusaha mendekatinya. Aku sangat ingin bercanda tawa dengannya. Semua itu tampak mustahil rasanya.
“Asik banget nih! Lihat dong bukunya?”. Sapaku sambil tersenyum.
“Apaan sih? Nggak usah cari gara-gara deh kas!”. Balas Karen.
“Ngapain cari gara-gara? Aku mau liat bukunya. Aku sama sekali belum pernah memegangnya, apalagi membacanya!”
“Eh, jangan sampe kamu berani menyentuh buku ini! Kamu tau, iniadalah hadiah ulang tahun kakak dari mama. Awas aja kalo kamu berani megan, pinjem apalagi mbaca. Ngeliat aja sebenernya nggak boleh.” 
“Astaga Karen! Aku penasaran aja sama isinya! Okedeh cerita ya kak! Aku pengen denger kakak cerita.”
“Manja banget sih ni anak! Minggir sana! Gue bosen ngeliat elu!”
“KAREN! BERHENTI BERTERIAK!!!..”. Tiba-tiba ayah datang. Ia menangis. Ya tuhan, ini pertama kalinya melihat ayah menangis. “Ayah capek melerai kalian, kalian ini nggak bisa dibilangin ya? Kasih, jangan sekali-kali kamu ndeketin Karen lagi. Dia mungkin emang belum bisa menerima kamu dihidupnya.”. Jelas ayah padaku. Penjelasan itu membuatku lagi-lagi menangis. Entahlah, aku sungguh lelah menyayangi orang tapi tidak disayang. Untuk apa aku menangisi orang yang tidak pernah menganggapku. Ini seperti cinta bertepuk sebelah tangan.
“Maafkan kasih yah! Kasih hanya berusaha untuk mendekati Karen agar ia  juga berusaha untuk menghargai adanya aku yah! Sudah dua belas tahun aku merasakan hidup seperti anak tunggal. Punya kakak tetapi tidak pernah merasakan kasih sayang darinya. Ayah tau nggak, Kasih itu ngerasa cuman punya ayah dihidup Kasih. Hiks, .. Maafkan aku yang membuat Karen kehilangan mama. Kak, aku minta maaf! Maaf maaf maaf maaf maaf maaf maaf maaf maaf, …”
“STOP!!! Aku nggak mau denger puisi kamu lagi!”. Ujar Karen yang langsung menghilang dari hadapanku. Ia berlari ke kamarnya, tanpa member jawaban dari beribu maafku.
Hari semakin malam, tetapi Karen belum keluar juga dari kamarnya. Ia belum memberikan jawaban untukku. Aku khawatir, apa yang terjadi dengannya? Aku bolak-balik didepan pintu kamarnya. Ingin mengetuknya, tapi takut. Apa yang harus kulakukan? Karen harus ikut makan malam bersamaku dan ayah.
“Ya tuhan, aku mohon bantu aku!”. Akhirnya aku memberanikan diri untuk memanggilnya. “Dok, dok!” “Karen .. Waktunya makan malam, jangan menyiksa diri kak! .. Kumohon keluarlah!”. Aku berusaha mengeluarkan suara paling keras agar Karen mendengarku. “Karen! Apa kau mendengarku? Aku mengkhawatirkanmu! Keluar kak Rendy!”. Karen belum juga keluar. Aku sungguh sedih rasanya. “Apa kakak masih marah ya? Maafkan aku kak! Aku bener-bener nggak …” Tiba-tiba kata-kataku terputus. Karen keluar dari kamar dan memelukku.
“Aku juga menyayangimu .. Aku sungguh menyayangimu kas! Sebenernya, kakak sudah memaafkanmu sejak lama. Tapi kakak nggak ngerti gimana caranya agar kamu tau. Kakak janji akan menjadi kakak paling baik didunia ini. Maafkan kakak karena dua belas tahun tidak pernah memberimu kasih sayang penuh sebagai seorang kakak. Hiks ..”. Ujar Karen diselingi tangisannya. Aku sangat terkejut. Aku terharu, bahagia, nggak ngerti harus bilang apa. Aku hanya bisa membalas pelukannya. Aku berharap rasa ini akan selamanya.
“Kalian?”. Ayah melihat kami, ia ikut bahagia pastinya. Buktinya, ayah juga memeluk kami. Kami tertawa bahagia. “Ayo makan malam! Semua turun ya!”. Ujarnya. Kami mengangguk bersama.
Keesokan harinya, seperti biasa ayah mengantar kami ke sekolah. Tetapi kali ini mobil serasa lebih indahsuasananya. Lebih harmonis, haha.
“Mama pasti bahagia melihat kedua anaknya yang hidup rukun seperti ini!”. Ujar Ayah yang pagi itu tampak ceria sekali.
“Aamin!”. Uajarku dan Karen bersama. Selain itu Karen juga memberikan novelnya yang berjudul “I’AM” kepadaku.
“Kau baca ini! Ceritanya tentang … Kasi tau nggak ya? Haha.”. Karen tampak berbeda. Kali ini ia tampak lebih periang. Kubaca synopsis novelnya. Terlihat jelas bahwa itu adalah novel yang menceritakan tentang kisah nyata penulis yang kehilangan kedua adik perempuannya dan kedua orang tuanya karena kecelakaan maut pesawat terbang. Penulis sangat sedih menjalani kehidupannya sendiri.
“Sudah tau kan kas?”. Tanya Karen padaku. Aku mengangguk dan tersenyum. “Buku itu yang selalu mengingatkanku bahwa aku ini masih beruntung memiliki ayah dan adik yang sangat menyayangiku. Aku juga sangat menyayangi kalian tentunya. Hehe~”. Aku dan ayah hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Sesampainya disekolah. Ia menggandengku ketika turun dari mobil. Aku senang diperlakukan seperti seorang putri.
“Jangan dilepas ya kak gandengannya! Aku seneng bisa digandeng sama Karen!”. Ujarku malu-malu.
“Aku juga seneng bisa nggandeng Kasih. Adik paling baik sedunia.”. Ujarnya lagi. Karen membawaku sampai kelas. Disepanjang perjalanan seluruh mata menatap kami aneh. Didepan kelas ada Lyn yang juga menatapku aneh.
“Sejak kapan kalian ..?”. Tanyanya heran.
“Eitts, jangan salah paham cewek .. Dia adik gue. Oh iya jangan sakitin dia ya! Jaga dia sampe bel pulang. Jangan lupa ingetin dia makan siang. Satu lagi, kalo dia kesusahan dalam pelajarannya, jangan lupa ajarin ya! Begitu juga sebaliknya, gue juga jagain kakak lu. Okey?”. Ujar Karen penuh semangat. Lyn masih ternganga melihat kelakuan kami. Aku hanya senyum-senyum padanya. “Sampai jumpa cewek-cewek cantik. Dada Kasih, kaka pergi dulu ya! Nanti pulang tunggu kakak ya!”. Aku mengangguk mantap dan segera menggandeng Lyn ke kelas. Di kelas aku menceritakan semua yang terjadi semuanya. Brgitu juga dengan Karen yang penuh semangat menceritakan kenyataan kepada seluruh teman sekelasnya.
Hari-hari selanjutnya kami jalani bersama dengan kebahagiaan yang tak terhingga. Aku benar-benar bangga mampu membuat Karen menyayangiku. Ternyata usahaku selama ini tidak sia-sia begitu saja.
Saat aku berjuang di hari terakhir SMP ku. Karen lah yang banyak membantuku belahjar. Dan hasilnya, aku lulus dengan nilai terbaik. Karen jugalah orang pertama yang mengucapkan selamat kepadaku.. Pujian dari mulutnya tak henti-henti ia katakana padaku.
“Kau memang hebat! Aku bangga padamu!”. Ia memberiku boneka beruang yang ukurannya cukup besar dan pasti harganya juga tidak murah. Begitu juga ayah yang membelikanku laptop keluaran terbaru.
“Terimakasih ayah, kakak! Aku menyayangimu!”. Ujarku yang sangat bahagia.
Kami mengucapkan selamat tinggal pada Lyn dan kakaknya, Sungguh sangat berat berpisah dengan teman sebaik Evelyn.
“Jangan lupain aku ya kas! Aku juga nggak akan pernah ngelupain kamu dan kakakmu! Selamat karna nilaimu sungguh membawa nama baik sekolah kita! Kau hebat!”. Ujar Lyn dengan senyumnya yang selalu membuatku bangga memiliki teman secantik dan sebaik dia.
“Tentu Lyn!”. Jawabku yang tak kuasa menahan air mata. “Kami menyayangimu! Tentu kami tidak akan semudah itu melupakanmu dan Kak Rafi.”
“Dasar cengeng! Hentikan kas! Kita tidak boleh bersedih. Walau mungkin ini pertemuan terakhir kita .. Tapi aku berharap tidak.”
“Apa maksudmu Lyn? Kau akan datang jika ada reuni kan?” Lyn mengangguk pelan dengan senyumnya yang selalu ia tampakkan diwajahnya.
Kasih akan pindah ke Surabaya dan melanjutkan SMA nya disana. Ia ikut ayahnya bekerja. @ tahun lama tak bertemu .. Karen dan aku mendengar kabarbahwa Lyn meninggal karena kanker otak yang telah lam diidapnya. Pantas selama ini, rambutnya selalu rontok. Tetapi ia tidak pernah bercerita padaku bahwa ia menderita. Ia selalu berkata bahwa hidupnya bahagia. Ia selalu tersenyum dan tidak pernah mengeluarkan air mata. Hidupnya tampak sempurna karana memiliki kedua orang tua dan kakak yang sangat menyayanginya. Ternyata aku bukan teman yang baik, aku salah .. aku tidak pernah tau bahwa ia sakit. Aku selalu menganggapnya sehat dan baik-baik saja. Ia hebat mampu menahan bertahun-tahun penyakitnya itu. Aku tidak ingin kehilangan teman sepertinya. Aku benar-benar merindukannya. Karen bilang Kak Rafi sangat terpukul atas kepergian adik semata wayangnya itu.
“Kasih aku bersyukur masih ada kau disisiku. Ayah juga! Aku sangat menyayangi kalian!”. Ujar Karen. Begitu juga denganku dan ayah yang juga mnyayanginya. Kami berjanji akan membuat hidup kami satu sama lain menjadi berharga dan mampu membuat mama merasakan keberhargaan itu.

No comments:

Post a Comment