KAREN TERSAYANG
Pagi
ini, langit di kota Jakarta terlihat tak bersemangat. Tidak biasanya mendung
gelapa seperti ini. Jam dinding menunjukkan pukul enam tepat. Aku sangat
senang, karena ini adalah hari pertamaku menjadi siswa Sekolah Menengah
Pertama. Dan itu artinya aku sudah harus meninggalkan semua sikap
kekanak-kanakanku di usiaku yang baru 12 tahun. Namaku Kasih, walaupun aku
belum pernah merasakan nikmatnya kasih sayang seorang ibu. Dari kecil aku belum
pernah melihat bagaimana indah bolamatanya? Secantik apa hidung dan mulut
mungilnya? Sehangat apa dekapannya? Selama ini, aku hidup hanya dengan seorang
ayah dan kakak laki-lakiku. Namanya Rendy Saputra, aku sering memanggilnya
Karen ( Kak Rendy ). Usianya 17 tahun, ia adalah orang yang sampai saat ini
belum bias menerima kematian mama. “Ini salahmu, kalau waktu itu mama nggak
ngelahirin kamu mama pasti sekarang masih ada disini!”. Selalu itu kata-kata
yang keluar dari mulut Karen jika sedang bertengkar denganku. Aku selalu
terdiam dan sekali-kali menitikkan air mata. Memang, mama meninggal saat
setelah melahirkanku. Mungkin karena itu Karen belum bisa menerimaku di
kehidupannya, ia selalu menganggapku seorang pembunuh. Ini sungguh menyakitkan
bagiku. Tapi ayah selalu mendekatiku dan berkata, “Ini bukan salahmu kas!”. Ayah
memang selalu begitu, ia selalu berusaha menghiburku disaat aku sedih ataupun
sakit hati karena kata-kata Karen.
Dari
dulu, keinginanku adalah membuat Karen menyayangiku seperti aku menyayanginya.
Aku selalu berusah membuatnya tidak bias melupakanku.
“Kasih
… Ayo turun! Sarapan dulu!”. Teriak ayah dari lantai bawah. Mendengarnya,
akupun langsung bergegas menghampirinya. Di ruang makan sudah ada Karen dan
ayah yang sibuk mempersiapkan sarapannya masing-masing. Akupun memilih duduk
disebelah Karen.
“Pagi
semuanya ..”. Sapaku sambil tersenyum.
“Pagi
juga sayaang ..”. Jawab ayah yang sedang mengoleskan selai coklat pada sepotong
roti. Karen? Ia tak menjawab sapaanku. Ia sibuk menghabiskan segelas susu
sambil mendengarkan headphonenya.
“Uh,
dasar ..”. Gumamku.
“Ini untuk anak ayah yang paling tampan!”.
Ujar ayah sambil meletakkan sepotong roti itu ke piring Karen. Begitu juga
denganku, ayah juga membuatkannya untukku.
“Terima
kasih ayah ..”. Ujarku. Akupun segera menyelesaikan sarapanku. “Sudah tidak
sabar lagi pergi ke sekolah baru.”.
“Cepetan
dong kas, gue ada ujian praktek nih!” tiba-tiba Karen bangkit dari kursinya.
“Oh,
iya kak .. tunggu ya! Sedikit lagi selesai.” Ujarku yang langsung menelan roti
yang tinggal sedikit. “ Uhuk ..”. Aku tersedak, ini salah Karen .. Menyebalkan.
“Hati-hati
kas ..” Pinta ayah yang mendekatiku. “Minum dulu, lalu langsung ke mobil!”.
Lanjutnya lagi. Aku hanya mengangguk.
Setelah
semua selesai, aku segara menuju mobil. Di perjalanan, suasana sangat sepi,
seperti di .. Di mana ya? Di rumah kosong mungkin. Semua membisu, suasananya
kaku. Yang terdengar hanya suara dari penyar radio yang lagi ngepromosiin merk
mobil terbaru. Ngebosenin banget ya? Aku harus buat suasana menjadi
menyenangkan, penuh canda dan tawa.
“Wah
adik yang di trotoar itu lucu ya yah .. Eh, balonnya terbang tuh! Kasian, mana
ibunya ya?”. Ujarku yang berusaha membuat suasana mobil menjadi tidak kaku
seperti sebelumnya.
“Iya,
mana ibunya ya? Kok ditinggal sendirian?”. Ujar ayah yang mencoba memberikan
respon padaku.
“Mati
kali? Kaya nasib gue!”. Tiba-tiba Karen melirik sinis kepadaku.
“Apasih
kak? Jangan lirik-lirik gitu dong?”. Ujarku yang ketakutan.
“Eh,
lu masih belum nyadar juga ya? Udah 12 tahun hello..? Lu itu udah ngebunuh
mama. Dia orang terpenting dalam hidup gue.”. Ujar Karen dengan kasar. Astaga,
separah itu ya?
“Karen
.. asal kakak tau, aku juga sedih kehilangan mama? Bukan cumin lu aja kak? Ayah
juga ..”. Ujarku dengan nada tinggi.
“Oya?
Trus kenapa lu nggak mati aja sekalian. Kenapa lu harus lahir? Hhh?”.
“Kak,
aku .. Aku..” Aku hanya terdiam. Aku udah gak bisa bales ucapan kasar Karen.
Aku sakit hati. Apa aku segitu nggak diperhatiin dan nggak dianggep ya sama
Karen? Aku siapa sih dihidupnya?
“STOP!!!
… Kalian ini apa-apaan sih? Nggak pernah hidup rukun. Bertengkar terus .. Kalo
kaya gini terus, mama pasti lebih sedih lagi disana! Ngerti nggak sih?”. Ujar
ayah yang terlihat marah.
“Iya
kak, lebih baik kita berhenti deh kayak gini terus. Aku juga capek kak! Sampe
kapan kita gini? Emang gak bisa ya terima aku di kehidupan kakak? Asal Karen
ngerti, aku sayang sama lu kak!”. Aku berusaha meyakinkannya lagi. Aku selalu
berharap Karen segera memaafkanku.
“Lu
kan yang sayang sama gue? Pokoknya bukan gue lah yang sayang sama lu ..
Amit-amit deh, sayang sama pembunuh mama gue sendiri! Jangan sampe!”. Balasnya
dengan nada yang sedikit menyakitkan hati. Aku terdiam lagi. Kali ini aku
benar-benar kehabisan kata-kata. Tiba-tiba ayah menghentikan mobilnya.
“Karen,
kamu turun!”. Ujarnya pada Karen yang saat itu duduk disebelahku.
“Apa
yah? Turun? Sekolahku kan masih 100 meter lagi dari sini? Aku sama Kasih kan
satu sekolah sekarang, kenapa harus diturunin sendiri –sendiri sih? Nggak mau
ah!” Jawab Karen sambil memasang wajah sebalnya.
“Udah!
Kamu turun cepetan! Ayah nggak mau ngedengerin omongan kamu yang selalu
nyakitin adik kamu! Kamu itu cowo, harusnya melindungi bukan menyakiti. Sudah
turun aja cepetan!”. Lanjut ayah. Ia tampak bersikeras menurunkan Karen.
“Bodoh
amat! Uda deh jalan lagi, nanti aku telat sekolah nih yah!”
“Udah
deh yah, nanti Karen telat. Dia kan ada ujian praktek ntar? Jalan aja yah!”.
Pintaku pada ayah. Ayahpun langsung menjalankan mobilnya lagi.
“Kalo
bukan Kasih yang minta, ni mobil nggak akan jalan!”. Ujar ayah yang tetap
berkonsenterasi dengan menyetirnya.
Beberapa
lama kemudian, mobil kami sampai tujuan. Segera aku turun dari mobil dan
menggandeng Karen.
“Apaan
sih gandeng-gandeng. Lepasin!”. Karen membanting tanganku. Ia seperti malu
memiliki adik sepertiku.
“Astaga
kak .. Sakit tau? Oke, aku lepasin! Jangan kasar-kasar dong sama cewek!
Nyebelin!”. Ujarku.
“Inget
ya, semua temen-temen gue itu nggak ada yang tau kalo gue sebenernya punya
adik. Mereka semua taunya gue anak tunggal. Jadi, lu jangan ngaku-ngaku adik
gue di sekolah! Awas lu ya!”. Ujar Karen sambil mengacung-acungkan telunjuknya
ke arahku. Aku sungguh sedih mendengarnya. Jadi, selama ini Karen memang tidak
pernah menganggapku ada.
“Karen!
Apakah segitu gaib nya aku di kehidupanmu? ..”. Tanyak yang sama sekali tidak
dihiraukannya. Karen berjalan sangat cepat didepanku. Sedangkan aku, tak tau
harus kemana. Sekolah ini terlihat asing bagiku, dimana kelasku? Aku
bener-bener nggak ngerti harus kemana? Aku hanya berjalan jauh dibelakang
Karen. Tiba-tiba …
“Hai
Ka .. sih Ama .. lia ..! Kau kelas tujuh juga kan?..”. Seseorang tepat berada
didepanku. Tampaknya ia membaca nametag
yang berada di sisi kiri seragamku. “Salam kenal ya, namaku Evellyn Amalia.
Hehe J”.
Ujar gadis berrrambut hitam kemerahan
dan sedikit ikal bawahnya. Ia terlihat anggun dengan pita kuning di sisi
kanan kepalanya. Tasnya kuning, jam tangannya juga. Sepertinya dia akan menjadi
gadis tercantik dengan style-nya yang
selalu matching. Nama kita sama-sama
diakhiri dengan ‘Amalia’, mungkin aku bisa mengikuti jejak style-nya
“Hai
kasih .. Apa kau tidak mendengarku? Atau aku salah bicara?”. Ujar Lyn, yang
mungkin akan menjadi teman pertamaku disini.
“Eh,
maaf lyn .. aku mendengarmu kok! Dan, kau juga tidak salah bicara .. Aku hanya
terpesona melihat kecantikanmu hehe ..”. Candaku. Lyn hanya tertawa geli
mendengar ucapanku. “Iya .. aku kelas tujuh, 7C. Apa kau juga?”. Tanyaku sambil
mendekatkan wajahku tepat didepannya.
“Ah,
Kasih jangan deket-deket dong! Kau membuatku takut! .. Iya, kita teman sekelas.
Ayo ikut aku! Biar kutunjukkan kelas kita!” Ia menarik tanganku dan mengajakku
berkeliling sekolah. “Aku tau semua yang ada disekolah ini. Semua tempat sudah
kupahami!”. Ujarnya yang selalu dengan tertawa riang.
“Kau
periang ya?”. Tanyaku heran.
“Ah,
biasa saja .. Hidup memang harus tertawa, harus gembira! Walaupun sakit, kau
harus menutupi rasa sakitmu dengan senyuman. Itu yang selalu kakak ajarkan
padaku!”. Lyn terlihat bahagia sekali saat itu. Senyumnya membuatku kagum. Apa
dalam hidupnya tidak pernah ada masalah?
“Benarkah?
Kau punya kakak?”
“Ya,
tentu saja! Ia yang memperkenalkanku dengan sekolah ini. Setiap Sabtu, ia
mengajakku kemari dan menyaksikan bagaimana ekstrakulikuler di sekolahnya. Nama
kakakku Rafi. Dia adalah kakak yang mungkin paling baik di dunia ini. Hehe, kau
tau Kas? Kak Rafi pernah membelikanku bermacam-macam bentuk dan warna boneka.
Setiap ulang tahunku, ia slalu mengajakku ke tempat yang berbeda. Pantai,
hutan, kebun, taman bunga dan masih banyak lagi yang belum kusebutkan. Kasih,
aku benar-benar tidak ingin pergi dari dunia ini. Aku takut kehilangan
orang-orang yang kucintai.” Uajr Lyn panjang lebar. Ia sungguh terlihat bangga
memiliki kakak sebaik Rafi. Aku iri padanya. Tidak seperti kakakku yang selalu
membuatku menangis. Sama sekali tidak menganggapku, sungguh kakak kami sangat
berlawanan. “ Kasih .. Kau kenapa? Aku salah
bicara lagi ya? Astaga, maafkan aku. Mungkin aku terlihat sombong
dimatamu.” Ujar Lyn yang melihatku menitikkan air mata.
“Tidak
apa-apa Lyn ... ini bukan salahmu! Aku hanya terharu mendengar ceritamu. Orang
tuamu pasti bahagia memiliki anak serukun kalian. Iya kan?” Tanyaku sambil
tersenyum
“Iya
kas. Terima kasih ya?”
“Untuk
apa?”
“Kau
adalah orang pertama yang senang mendengarku bercerita. Ah, lupakan! Ayo aku
tunjukkan kelas kita! Sudah hampir dekat kas!” Ujar Lyn yang tidak pernah lepas
dari senyumannya. Akupun berjalan mengikutinya. Ia tetap menggandeng tanganku.
Aku bahagia memiliki teman sebaik Lyn.
“Eh,
itu adalah kantin sekolah kita! Disana nasi gorengnya enak banget kas! Apa kau
ingin mencobanya? Nanti istirahat aku traktir deh!”.
“Haha
baiklah! Kau terlihat lapar sekali ya?”
“Kau
benar! Aku memang sangat lapar ..”. Tiba-tiba seorang pria berseragam putih
abu-abu menghentikan langkah kami.
“Ini,
tepak pensilmu tertinggal di mobil! Lain kali dicek dulu sebelum turun mobil.”
Ujar pria tersebut. Hidungnya mancung, kulitnya putih, matanya lebar, rambutnya
juga sedikit ikal. Sama persis dengan Lyn.
“Ini
Kak Rafi kas! ..”. Ujar Lyn yang memperkenalkan kakaknya padaku. Kak Rafi
memang tampan. Tetapi, Karen tentu tidak kalah tampan.
“Teman
barumu ya? Cantiknyaa ..”. Ujar Kak Rafi sambil mencubit kedua pipiku. Astaga,
Karen belum pernah melakukan ini sebelumnya padaku. “Lyn, kenapa tidak bilang
pada kakak punya teman secantik ini.”
“Kak
Rafi ini selalu genit kas .. Maaf ya!” Lyn mencubit tangan kiri Kak Rafi.
“Ah,
itu tidak benar. Aku memang menyukai gadis kecil. Haha siapa namamu?” Tanyanya
padaku.
“Kasih.”
Jawabku singkat.
“Oh,
baiklah .. sepertinya kau takut denganku ya? Aku pergi dulu semuanya!”. Ia pun
pergi meninggalkan kami. Aku dan Lyn melanjutkan perjalanan kami. Sepanjang
perjalanan menuju kelas kami berdua bercanda dan tertawa. Dan, “Ini dia kelas
kita! Bagaiman bagus kan?” Tanya Lyn yang meyakinkanku. Aku hanya mengangguk
dan tersenyum kagum. Bagaimana tidak? Kulihat pintu kelasnyayang tinggi dengan catnya yang berwarna coklat
kayu terlihat gagah. Begitu juga jendela-jendela yang menyapa kami denga cat
yang senada dengan pintunya. Kamipun segera masuk. Didalam sudah banyak teman yang
menunggu kedatangan teman-teman yang lain.
Pelajaran
kami mulai dengan pelajaran bahasa inggris. Lyn ternyata sangat pintar
berbahasa inggris.
“I know that miss! It’s easy, I’ll do it!”
begitu jawabnya ketika miss Ane menyuruh kami mengerjakan 5 soal yang berada di
papan tulis.
“Kau
bicara apa Lyn?”. Tanyaku heran. Lyn hanya tersenyum dan langsung maju kedepan.
Semua ia jawab dengan lancer dan benar. “Wah, kau hebat!”. Ujarku yang
memecahklan keheningan kelas. Aku memberikan tepuk tangan untuknya. Kedua
jempolku juga ku acungkan untuknya. Aku bangga memiliki teman sepertinya.
Waktu
istirahatpun tiba, ternyata selain cantik dan pintar … Lyn adalah teman yang
menepati janji. Ia tidak lupa akan menraktirku makan siang disini. Oh iya,
selain itu mulut mungilnya juga tidak berbohong saat mengatakan nasi goreng
disini enak.
Kami
sangat menikmati nasi gorengnya. Tapi, tiba-tiba selera makanku hilang ketika
melihat Karen lewat didepanku. “Astaga, dia sama sekali tidak melihatku?
Menatapku? Bahkan melirikku pun juga tidak. Aku ini siapa sih baginya”. Ujarku
dalam hati.
“Ada
ada saja kau ini .. Mana ada gajah yang naik becak? Hahaha!” Karen terlihat
bahagia jika tidak bersamaku. Ia bisa tertawa dengan teman-temannya. Sebelahnya? Itu kan? Astaga itu Kak Rafi.
“Woy!
Liat siapa lu kas?”. Tiba-tiba Lyn membangunkanku dari lamunan. “Oh, .. liat
Kak Rafi to? Lu naksir ya sama kakak gue?”
“Enggak
Lyn .. Aku cuman lihat aja.Bukan lihat sih sebenernya .. Hmm, apa ya? Itu, ada
Karen.” Aku bingung harus menjawab apa? Aku emang bener-bener nggak lagi liat
Kak Rafi. Tapi aku lihat Karen. Tapi,
Lyn kan nggak boleh tau kalo aku punya kakak disini.
“Karen?
Siapa itu kas?” Tanya Lyn penasaran.
“Bukan
siapa-siapa kok. Udah makan aja lagi Lyn!”. Ujarku sedikit ketakutan. Lyn hanya
mengangguk dan sedikit berdecak heran.
“Eh,
ada adik kakak yang paling cantik disini. Dasar, makan nasi goroeng nggak
ngajak kakak nih!”. Astaga, Kak Rafi menghampiri kami. Tentu saja sebelahnya
ada Karen.
“Kak
Rafi? Haha iya nih makan bareng Kasih. Kalo kakak juga mau, pesen aja sama
temen kakak, nanti makannya bareng-bareng kita disini ya?”. Ujar Lyn manis.
“Lyn?
Kumohon jangan ajak mereka makan disini!”. Bisikku pada Lyn.
“Iya,
aku tau kalo kamu nggak mau semeja sama kakakku kan? Takut salting ya?”
“Apa
sih Lyn! Kamu nggak tau apa-apa Lyn! Plis, jangan …”
“Woy!
Kamu kenapa sih Kas? Aku emang nggak tau apa-apa tentang kamu! Buat apa juga
gue tau kan?”
“Eh
maaf Lyn .. Bukan gitu maksudku. Astaga! Udah deh abaikan!”. Aku udah salah
ngomong ya? Lyn terlihat sedikit marah. Akupun menghentingkan semua. Tak lama
kemudian Kak Rafi dan Karen dating.
“Lu
duduk sebelah Kasih ya ren?” ujar Kak Rafi pada Karen. Karen hanya mengangguk
dan duduk disebelahku. Ia sama sekali tidak menganggapku sebagai musuh ataupun
adik. Ia sama sekali tidak mengenalku saat itu.
“Ya
tuhan .. aku sungguh tidak tahan dengan sikapnya yang dingin itu!”. Ujarku
dalam hati. Tiba-tiba aku menitikkan air mata. Ini adalah caraku untuk mengungkapkan
pada Karen secara tidak langsung, bahwa aku sungguh sakit hati.
“Kasih
.. kamu kenapa sih? Eh, kamu kenapa nangis kas? Aduh aku tadi salah bicara
ya?”. Tiba-tiba Lyn meresponku. Dan, seperti biasa Karen tetap tidak
meresponku. Kak Rafi yang bukan kakakku saja merespon. Karen benar-benar jahat.
Kali ini aku benar-benar ingin menendangnya ke luar angkasa.
“Udah
deh, aku nggak kenapa-napa kok!” Akupun berdiri meninggalkan mereka yang tampak
kebingungan melihat sikapku yang memang aneh. Kecuali Karen yang diam mematung
sambil mainin tusuk gigi. “Huh, tuh orang nyebelin banget sih! Lihat aja ntar,
aku bakal buat Karen nggak mau kehilangan Kasih!”. Ujarku sambil tetap berlari
menuju kelas. Ternyata dari belakang, Lyn berlari mengikutiku.
“Kasih!
.. Tunggu aku! Kamu kenapa sih?”. Melihat Lyn yang terlihat lelah mengejarku.
Akupun berhenti. “Kau ini .. aku capek kas!”
“Maaf
Lyn! Aku nggak papa kok! J”. Ujarku yang hanya tersenyum dan
membawa Lyn ke kelas.
Tak
terasa akhirnya bel pulang pun berbunyi .. Aku segera menghampiri ayah yang
sudah siap dengan mobil yang diparkir didepan gerbang sekolah
“Ayah!”
Aku berlari menghampirinya. Kupeluk ayah .. “Aku sedih sekali hari ini yah!
Ternyata tidak semudah itu satu sekolah dengan Karen.”
“Ada
apa lagi ini?”
“Aku
mau pindah sekolah saja kalau begini caranya!” Akupun mulai menangis.
“Jangan
nangis disi kas! Ini didepan sekolah lho1 Masih banyak teman-temanmu.”
“Biarin!
Aku pengen semua tau kalo aku ini adiknya Karen yah! ...”
“Itu
Karen kas! Karen! Sini nak!”. Teriak ayah sambil melambaikan tangannya
memanggil Karen. “Sini nak! Ayo pulang!”
“Astaga
ayah! Ayah blak-blakan banget sih! Kalo gini caranya, semua orang bakal tau kalo kita sodaraan.” Ujarku dalam
hati. “Oh, atau jangan-jangan .. ini cara ayah! Haha ayah pinter juga.”
“Karen!
Ayo pulang nak!” Ayah terus memanggil Karen sambil menepuk tangannya. Karen t erlihat
malu dengan tingkah ayah yang nekat. Apalagi disebelahnya ada .. Kak Rafi. Sip!
Ini momen yang pas buat ngasih tau ke temen-temen Karen kalo aku ini adiknya.
“Kak
.. Ayo pulang kak!”. Akupun ikut-ikutan memanggilnya. Melihat ini, Karen pun
segera menghampiri aku dan ayah.
“Ini
apa-apan sih? Kalian sengaja ya?”. Ujar Karen dengan suaranya yang sengaja
dipelankan.
“Kak,
aku minta maaf deh kalo aku punya salah! Aku nggak pengen kita gini terus
kak!”. Ujarku meyakinkannya.
“Husst!
Udah masuk mobil kas!”. Dengan kasarnya ia mendorongku masuk kedalam mobil. Aku
sungguh malu, aku malu diperlakukan kaya gini didepan temen-temen kakak. Aku
yakin, Lyn dan Kak Rafi pasti melihat tingkah kami. “Ayo yah jalan!”. Karen
terus memakasa ayah untuk menjalankan mobil. Ayahpun tidak banyak bicara dan
langsung menjalankan mobilnya. Di perjalanan pulang, aku hanya bisa menangis.
“Kakak
jahat! Kakak nggak pernah sayang sama aku! Padahal aku selalu sayang sama kakak
.. Karen bener-bener benci ya sama aku?”. Tanyaku yang tetap menangis. Karen
tidak menjawab. Ia selalu seperti Karen yang biasanya. Diam membisu tak
berkata-kata. Aku sangat memaklumi itu. Dan, menurutku sikapnya tidak lama
pasti akan segera berubah.
Sesampainya
dirumah, aku keluar dan langsung menuju kamarku untuk berganti pakaian.
Tiba-tiba ayah mendekatiku, ia membelai rambutku dan berkata, “Sabar ya sayang!
Kamu pasti kuat kok! Ayah Sayang sama kamu!”. Aku tersenyum saja, aku capek ngomong dan nggak tau harus ngomong
apa.
Sore
ini langit masih sama seperti pagi tadi. “Aneh, mendung tapi hujannya nggak
turun-turun.”. Ujarku sambil menatap langit di luar jendela. Jakarta sungguh
penuh dengan polusi. Kehijauan terlihat langka disini. Semua dipadati
gedung-gedung tinggi dan kendaraan-kendaran mewah. Akupun turun ke lantai
bawah. Di ruang keluarga Karen sedang asyik membaca novel favoritnya yang
bejudul “I’AM”. Entah sudah brapa ribu kali ia membacanya. Itu adalah buku yang
diberikan mama untuknya. Pantas ia sangat senang membacanya.
Aku
mendekati Karen dan mencoba menyapanya. Aku selalu berusaha mendekatinya. Aku
sangat ingin bercanda tawa dengannya. Semua itu tampak mustahil rasanya.
“Asik
banget nih! Lihat dong bukunya?”. Sapaku sambil tersenyum.
“Apaan
sih? Nggak usah cari gara-gara deh kas!”. Balas Karen.
“Ngapain
cari gara-gara? Aku mau liat bukunya. Aku sama sekali belum pernah memegangnya,
apalagi membacanya!”
“Eh,
jangan sampe kamu berani menyentuh buku ini! Kamu tau, iniadalah hadiah ulang
tahun kakak dari mama. Awas aja kalo kamu berani megan, pinjem apalagi mbaca.
Ngeliat aja sebenernya nggak boleh.”
“Astaga
Karen! Aku penasaran aja sama isinya! Okedeh cerita ya kak! Aku pengen denger
kakak cerita.”
“Manja
banget sih ni anak! Minggir sana! Gue bosen ngeliat elu!”
“KAREN!
BERHENTI BERTERIAK!!!..”. Tiba-tiba ayah datang. Ia menangis. Ya tuhan, ini
pertama kalinya melihat ayah menangis. “Ayah capek melerai kalian, kalian ini
nggak bisa dibilangin ya? Kasih, jangan sekali-kali kamu ndeketin Karen lagi.
Dia mungkin emang belum bisa menerima kamu dihidupnya.”. Jelas ayah padaku.
Penjelasan itu membuatku lagi-lagi menangis. Entahlah, aku sungguh lelah
menyayangi orang tapi tidak disayang. Untuk apa aku menangisi orang yang tidak
pernah menganggapku. Ini seperti cinta bertepuk sebelah tangan.
“Maafkan
kasih yah! Kasih hanya berusaha untuk mendekati Karen agar ia juga berusaha untuk menghargai adanya aku
yah! Sudah dua belas tahun aku merasakan hidup seperti anak tunggal. Punya
kakak tetapi tidak pernah merasakan kasih sayang darinya. Ayah tau nggak, Kasih
itu ngerasa cuman punya ayah dihidup Kasih. Hiks, .. Maafkan aku yang membuat
Karen kehilangan mama. Kak, aku minta maaf! Maaf maaf maaf maaf maaf maaf maaf
maaf maaf, …”
“STOP!!!
Aku nggak mau denger puisi kamu lagi!”. Ujar Karen yang langsung menghilang
dari hadapanku. Ia berlari ke kamarnya, tanpa member jawaban dari beribu
maafku.
Hari
semakin malam, tetapi Karen belum keluar juga dari kamarnya. Ia belum memberikan
jawaban untukku. Aku khawatir, apa yang terjadi dengannya? Aku bolak-balik
didepan pintu kamarnya. Ingin mengetuknya, tapi takut. Apa yang harus
kulakukan? Karen harus ikut makan malam bersamaku dan ayah.
“Ya
tuhan, aku mohon bantu aku!”. Akhirnya aku memberanikan diri untuk
memanggilnya. “Dok, dok!” “Karen .. Waktunya makan malam, jangan menyiksa diri
kak! .. Kumohon keluarlah!”. Aku berusaha mengeluarkan suara paling keras agar
Karen mendengarku. “Karen! Apa kau mendengarku? Aku mengkhawatirkanmu! Keluar
kak Rendy!”. Karen belum juga keluar. Aku sungguh sedih rasanya. “Apa kakak
masih marah ya? Maafkan aku kak! Aku bener-bener nggak …” Tiba-tiba kata-kataku
terputus. Karen keluar dari kamar dan memelukku.
“Aku
juga menyayangimu .. Aku sungguh menyayangimu kas! Sebenernya, kakak sudah
memaafkanmu sejak lama. Tapi kakak nggak ngerti gimana caranya agar kamu tau.
Kakak janji akan menjadi kakak paling baik didunia ini. Maafkan kakak karena
dua belas tahun tidak pernah memberimu kasih sayang penuh sebagai seorang
kakak. Hiks ..”. Ujar Karen diselingi tangisannya. Aku sangat terkejut. Aku
terharu, bahagia, nggak ngerti harus bilang apa. Aku hanya bisa membalas
pelukannya. Aku berharap rasa ini akan selamanya.
“Kalian?”.
Ayah melihat kami, ia ikut bahagia pastinya. Buktinya, ayah juga memeluk kami.
Kami tertawa bahagia. “Ayo makan malam! Semua turun ya!”. Ujarnya. Kami
mengangguk bersama.
Keesokan
harinya, seperti biasa ayah mengantar kami ke sekolah. Tetapi kali ini mobil
serasa lebih indahsuasananya. Lebih harmonis, haha.
“Mama
pasti bahagia melihat kedua anaknya yang hidup rukun seperti ini!”. Ujar Ayah
yang pagi itu tampak ceria sekali.
“Aamin!”.
Uajarku dan Karen bersama. Selain itu Karen juga memberikan novelnya yang
berjudul “I’AM” kepadaku.
“Kau
baca ini! Ceritanya tentang … Kasi tau nggak ya? Haha.”. Karen tampak berbeda.
Kali ini ia tampak lebih periang. Kubaca synopsis novelnya. Terlihat jelas
bahwa itu adalah novel yang menceritakan tentang kisah nyata penulis yang
kehilangan kedua adik perempuannya dan kedua orang tuanya karena kecelakaan
maut pesawat terbang. Penulis sangat sedih menjalani kehidupannya sendiri.
“Sudah
tau kan kas?”. Tanya Karen padaku. Aku mengangguk dan tersenyum. “Buku itu yang
selalu mengingatkanku bahwa aku ini masih beruntung memiliki ayah dan adik yang
sangat menyayangiku. Aku juga sangat menyayangi kalian tentunya. Hehe~”. Aku
dan ayah hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Sesampainya
disekolah. Ia menggandengku ketika turun dari mobil. Aku senang diperlakukan seperti
seorang putri.
“Jangan
dilepas ya kak gandengannya! Aku seneng bisa digandeng sama Karen!”. Ujarku
malu-malu.
“Aku
juga seneng bisa nggandeng Kasih. Adik paling baik sedunia.”. Ujarnya lagi.
Karen membawaku sampai kelas. Disepanjang perjalanan seluruh mata menatap kami
aneh. Didepan kelas ada Lyn yang juga menatapku aneh.
“Sejak
kapan kalian ..?”. Tanyanya heran.
“Eitts,
jangan salah paham cewek .. Dia adik gue. Oh iya jangan sakitin dia ya! Jaga
dia sampe bel pulang. Jangan lupa ingetin dia makan siang. Satu lagi, kalo dia
kesusahan dalam pelajarannya, jangan lupa ajarin ya! Begitu juga sebaliknya,
gue juga jagain kakak lu. Okey?”. Ujar Karen penuh semangat. Lyn masih
ternganga melihat kelakuan kami. Aku hanya senyum-senyum padanya. “Sampai jumpa
cewek-cewek cantik. Dada Kasih, kaka pergi dulu ya! Nanti pulang tunggu kakak
ya!”. Aku mengangguk mantap dan segera menggandeng Lyn ke kelas. Di kelas aku
menceritakan semua yang terjadi semuanya. Brgitu juga dengan Karen yang penuh
semangat menceritakan kenyataan kepada seluruh teman sekelasnya.
Hari-hari
selanjutnya kami jalani bersama dengan kebahagiaan yang tak terhingga. Aku
benar-benar bangga mampu membuat Karen menyayangiku. Ternyata usahaku selama
ini tidak sia-sia begitu saja.
Saat
aku berjuang di hari terakhir SMP ku. Karen lah yang banyak membantuku
belahjar. Dan hasilnya, aku lulus dengan nilai terbaik. Karen jugalah orang
pertama yang mengucapkan selamat kepadaku.. Pujian dari mulutnya tak
henti-henti ia katakana padaku.
“Kau
memang hebat! Aku bangga padamu!”. Ia memberiku boneka beruang yang ukurannya
cukup besar dan pasti harganya juga tidak murah. Begitu juga ayah yang
membelikanku laptop keluaran terbaru.
“Terimakasih
ayah, kakak! Aku menyayangimu!”. Ujarku yang sangat bahagia.
Kami
mengucapkan selamat tinggal pada Lyn dan kakaknya, Sungguh sangat berat
berpisah dengan teman sebaik Evelyn.
“Jangan
lupain aku ya kas! Aku juga nggak akan pernah ngelupain kamu dan kakakmu!
Selamat karna nilaimu sungguh membawa nama baik sekolah kita! Kau hebat!”. Ujar
Lyn dengan senyumnya yang selalu membuatku bangga memiliki teman secantik dan
sebaik dia.
“Tentu
Lyn!”. Jawabku yang tak kuasa menahan air mata. “Kami menyayangimu! Tentu kami
tidak akan semudah itu melupakanmu dan Kak Rafi.”
“Dasar
cengeng! Hentikan kas! Kita tidak boleh bersedih. Walau mungkin ini pertemuan
terakhir kita .. Tapi aku berharap tidak.”
“Apa
maksudmu Lyn? Kau akan datang jika ada reuni kan?” Lyn mengangguk pelan dengan
senyumnya yang selalu ia tampakkan diwajahnya.
Kasih
akan pindah ke Surabaya dan melanjutkan SMA nya disana. Ia ikut ayahnya
bekerja. @ tahun lama tak bertemu .. Karen dan aku mendengar kabarbahwa Lyn
meninggal karena kanker otak yang telah lam diidapnya. Pantas selama ini,
rambutnya selalu rontok. Tetapi ia tidak pernah bercerita padaku bahwa ia
menderita. Ia selalu berkata bahwa hidupnya bahagia. Ia selalu tersenyum dan
tidak pernah mengeluarkan air mata. Hidupnya tampak sempurna karana memiliki
kedua orang tua dan kakak yang sangat menyayanginya. Ternyata aku bukan teman
yang baik, aku salah .. aku tidak pernah tau bahwa ia sakit. Aku selalu
menganggapnya sehat dan baik-baik saja. Ia hebat mampu menahan bertahun-tahun
penyakitnya itu. Aku tidak ingin kehilangan teman sepertinya. Aku benar-benar
merindukannya. Karen bilang Kak Rafi sangat terpukul atas kepergian adik semata
wayangnya itu.
“Kasih
aku bersyukur masih ada kau disisiku. Ayah juga! Aku sangat menyayangi
kalian!”. Ujar Karen. Begitu juga denganku dan ayah yang juga mnyayanginya.
Kami berjanji akan membuat hidup kami satu sama lain menjadi berharga dan mampu
membuat mama merasakan keberhargaan itu.
No comments:
Post a Comment